Fery Pamawisa. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

ETIKA BISNIS (Angga Yuda Prawira)


ETIKA BISNIS
Angga Yuda Prawira
1114215012

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia yang memiliki kebutuhan tak terbatas akan mendapatkan kendala dalam memenuhinya akibat sumber daya yang terbatas jumlahnya. Manusia akan berusaha melakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya, dengan cara baik maupun buruk. Baik atau buruknya jalan yang ditempuh manusia untuk memenuhi kepuasannya akan bergantung pada etika masing-masing manusia. Banyak yang akhirnya menempuh jalan yang buruk untuk kepuasannya yang mungkin muncul akibat rasa frustasi akan kebaikan atau ketidaktahuan akan keburukan. Memikirkan perut sendiri tanpa memahami perasaan orang lain yang tersakiti ataupun materi yang merugi merupakan contoh riil yang terjadi saat ini.

Perilaku manusia yang terkesan mengais uang dengan membabi-buta untuk kebutuhannya merupakan indikator kealpaan manusia akan tujuan hidupnya. Keadaan pun semakin memburuk karena selain kealpaan, manusia juga sudah tak melihat pedoman etika dalam hidupnya. Etika sudah tak dianggap penting lagi, semuanya bebas dilakukan tanpa harus mengikuti aturan, tanpa harus beretika.

Adakah alasan yang bisa diterima oleh manusia untuk mereka para oknum penjual yang menjual dan sekaligus memproduksi makanan yang mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh hanya untuk sekantung recehan. Atau, logiskah perbuatan para oknum penjual makanan yang mencampur daging celeng dengan daging sapi pada makanannya agar dapur tetap berasap. Jangan lupakan juga perbuatan para oknum pejabat yang membeli material proyek yang kualitasnya murahan sehingga margin pembelian akan masuk ke kantong sendiri maupun keluarga. Jangan salahkan pujangga yang akann menelurkan sajak “asal perut kenyang hatipun senang, asal ada uang abangpun disayang”.

B.     Rumusan Masalah
1.   Pengertian etika
2.   Pentingnya etika dalam kehidupan
3.   Etika dalam ekonomi

C.     Tujuan
1.   Memahami pengertian etika
2.   Memahami pentingnya etika dalam kehidupan manusia
3.   Mempelajari permasalahan etika bisnis


BAB II
PENDAHULUAN

A.    Etika

            Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.

            Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).

            Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

            Dari perbandingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.

            K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1.                  Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
            Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama           Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di     sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem     nilai ini bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada             taraf sosial.
2.                  Kumpulan asas atau nilai moral.
            Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3.                  Ilmu tentang yang baik atau buruk.
            Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

B.     Etika Bisnis

Etika memberi kita pegangan atau orientasi dalam menjalani kehidupan yang menjadikan tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Sehubungan dengan itu, maka timbul pertanyaan : Apakah bobot moral terletak pada nilai moral tindakan itu sendiri atau terletak pada baik buruk serta besar kecilnya tujuan yang ingi dicapai. Contohnya, apakah menggelapkan uang perusahaan untuk menyelamatkan anak yang sakit parah adalah suatu tindakan baik karena tujuannya baik, atau sebaliknya itu tindakan yang buruk karena memang tindakan menggelapkan uang adalah tindakan yang buruk. Ada dua teori etika yang akan menilai suatu tindakan itu baik atau buruk, yaitu etika deontologi dan etika teologi.

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Maka menurut etika deontologi, tindakan seseorang itu akan dinilai berdasarkan tindakan itu sendiri terlepas dari tujuan dan akibat dari tindakan tersebut.

Berbeda dengan etika deontologi, etika teologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. Menggelapkan uang perusahaan yang merupakan tindakan yang buruk bisa menjadi baik menurut etika teologi apabila tujuannya baik untuk menyelamatkan nyawa anaknya.

C.    Permasalahan Etika Bisnis di Indonesia

Banyak perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis.

Namun, dalam perjalanannya, banyak perusahaan di Indonesia yang melanggar etika-etika bisnis itu, hal ini perlu dibenahi agar dapat meningkatkan perekonomian Negara.

Permasalahan etika yang sering dilakukan oleh pihak swasta, menurut ketua Taufiequrachman Ruki (Ketua KPK Periode 2003-2007), adalah penyuapan dan pemerasan. Berdasarkan data Bank Dunia, setiap tahun di seluruh dunia sebanyak US$ 1 triliun (sekitar Rp 9.000 triliun) dihabiskan untuk suap. Dana itu diyakini telah meningkatkan biaya operasional perusahaan. (Koran Tempo - 05/08/2006)

Di bidang keuangan, banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran etika. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Erni Rusyani, terungkap bahwa hampir 61.9% dari 21 perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak lengkap dalam menyampaikan laporan keuangannya (not available).

Pelanggaran etika perusahaan terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Contohnya adalah kasus pelezat masakan merek ”A”. Kehalalan “A” dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (molase), mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri), yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai terhadap biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi.

Kasus lainnya, adalah produk minuman berenergi yang sebagian produknya diduga mengandung nikotin lebih dari batas yang diizinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Minuman. Kita juga masih ingat, obat anti-nyamuk “H” yang dilarang beredar karena mengandung bahan berbahaya.
Pada kasus lain, suatu perusahaan di kawasan di Kalimantan melakukan sayembara untuk memburu hewan Pongo. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan habitat hewan tersebut untuk digunakan sebagai lahan perkebunan sawit. Hal ini merupakan masalah bagi pemerintah dan dunia usaha, dimana suatu usaha dituntut untuk tetap melestarikan alam berdampingan dengan kegiatan usahanya.
Selain itu, pelanggaran juga dilakukan oleh suatu perusahaan di kawasan Jawa Barat. Perusahaan tersebut membuang limbah kawat dengan cara membakar kawat tersebut tersebut. Hal ini menyebabkan asap hitam pekat yang membuat orang mengalami sesak napas dan pusing saat menghirupnya. Perusahaan tersebut disinyalir tidak melakukan penyaringan udara saat pembakaran berlangsung. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sekitar yang berdekatan dengan lokasi pabrik tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam dunia ekonomi, manusia mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhinya. Berawal dari itu pula, manusia yang mendirikan perusahaan juga mempunyai target kebutuhan yang harus terpenuhi dan salah satu caranya ialah meningkatkan penjualan produk. Namun dalam perjalanannya banyak hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah etika dalam berbisnis. Pada kasus-kasus di atas bukan hanya keuntungan yang maksimal yang dicari ataupun memperluas target pasar tetapi etika bisnis sebagai pedoman juga harus diperhatikan sehingga dapat bersinergi dengan kelestarian alam dan kesehatan konsumen.

Perusahaan yang memegang teguh etika bisnis dalam menjalankan roda perusahaannya dapat membentuk perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi dan patut diperhitungkan, karena alam dan konsumen akan membantu dan menghargai mereka yang menghormati mereka.



DAFTAR PUSTAKA
Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanius

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Pages