Etika
dalam kegiatan Ekonomi
Ribka
Juwita Meirins
1114215088
BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan Etika dalam Ekonomi
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan
ekonomi berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai
bahan pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam
kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun
terkesan lebih mengutamakan penyelamatan sisa-asetnya daripada mengatasi soal
lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan
pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan
permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan
kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih
beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan
diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian
formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi
dengan bahan yang sudah berbelatung.
Dari kasus-kasus yang disebutkan
sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada
kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik
dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama ekonomi adalah
menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat
perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal
yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang
kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam
ekonomi . Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi ekonomi melihat
adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Doug Lennick dan Fred
Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence,
berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang
menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses
dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman,
2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai
pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca
pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang
lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika
dalam ekonomi tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha
dan praktisi ekonomi harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran
masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media,
dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika
bisnis berbagai perusahaan di Indonesia.
Sebuah studi selama dua tahun
yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari
Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning
per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan
menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
Praktik Ekonomi Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai praktik ekonomi yang dijalankan
selama ini masih cenderung
mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis
tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan
sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni
Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit
birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah
terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai
tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok
untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman,
implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku
ekonomi/bisnis dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika ekonomi,
terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi
syariah selama ini masih cenderung pada sisi “emosional” saja dan terkadang
mengkesampingkan konteks ekonomi itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi
syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah.
Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak “mengenal” sistem syariah,
namun potensinya cukup tinggi. Terhadap pengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang
sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya
tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral,
masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya,
justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama
artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak
dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah
hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban
pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan
kedua dalam memahamimasalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan
antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan
orang Indonesia tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak
sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk
kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai issal, sama sekali tidak dapat
dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral.
Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah
didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak,
pencemaran lingkungan, dan pelanggaran
hak asasi manusia.
BAB II
EKONOMI
DENGAN ETIKA
Epistemologi Etika Ekonomi
Etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya
memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang
yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang
memiliki etika ekonomi pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral
yang baik. Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopansantun) berasal dari bahasa Prancis etiquette yang
berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu
etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara
hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama. Jika kata etika
dikaitkan dengan kata bisnis akan menjadi Etika Ekonomi.
Kata etik juga berhubungan dengan objek kelakuan
manusia di wilayah-wilayah tertentu, sepert etika kedokteran, etika ekonomi,
etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika
sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika
diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku
yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan
tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan
bahwapenentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya,
keputusan bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika
adalah keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini
merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan
masyarakat.
Secara sederhana etika ekonomi dapat diartikan sebagai
suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat
dalam praktek bisnis sehari-hari
etika Ekonomi dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.
Etika ekonomi sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari
elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Ekonomi tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang
maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain
(Dalimunthe, 2004). Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara
bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip dari mana ”ethics”
berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan keduanya
artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals) berbeda dari
etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen
normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari (inevitable normativeelements).
Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya apa yang
dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya.
Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik dengan
aspek-aspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values) adalah standar
kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis
dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian, pelaku bisnis menggunakan
nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah mereka menyadarinya
atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas
mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara
kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan
realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.
Etika Ekonomi: Suatu Kerangka Global
Masalah etika dalam ekonomi dapat diklasifikasikan ke
dalam lima kategori yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan
(Deception), Pencurian (Theft), Diskriminasi
tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman), yang masingmasing
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa
menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan
mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap
dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian'
itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun
pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah
dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan
mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu
dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan
oleh pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion), adalah
tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau
ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan
jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
3. Penipuan (Deception), adalah
tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja
dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft), adalah
merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan
pemiliknya. Properti
tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair
discrimination), adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras,
jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara
mereka yang 'disukai' dan tidak.
Sistem Ekonomi Pancasila (SEP)
Gagasan ekonom Prof. Mubyarto (UGM) sekitar tahun
1980-an. Sebutan SEP
sudah dilontarkan sebelumnya oleh Prof. Emil Salim (UI) sekitar tahun 1966
PERBANDINGAN
SEP
SI LA
|
Emil Salim
|
Mubyarto
|
Sumitro Djojohadikusumo
|
I
|
Mengenal Etika & Moral Agama
|
Roda perekonomian digerakkan rangsangan ekonomi,
sosial, & moral
|
Berupaya senantiasa dekat dengan Tuhan dengan ibadah
|
II
|
Titik berat pada nuansa manusiawi dalam menggalang
hub. Ekonomi dlm perkemb. masyarakat
|
Ada kehendak kuat dari masyarakat untuk mewujudkan
pemerataan sosial (egalitarian)
|
Berupaya mengurangi & memberantas kemiskinan dlm
penataan ekonomi masyarakat
|
III
|
Membuka kesempatan ekonomi secara adil bagi semua
|
Nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi
|
Pola kebijakan ekonomi & cara penyelenggaraannya
tdk menimbulkan kekuatan yg menggangu persatuan bangsa
|
IV
|
Bermuara pada pelaksanaan demokrasi ekonomi &
politik
|
Koperasi merupakan sokoguru perekonomian &
bentuk konkret usaha bersama
|
Rakyat berperan & berpartisipasi aktif dalam
usaha pembangunan
|
V
|
Memberi warna egalitarian & social equity
dlm proses pembangunan
|
Imbangan yg tegas antara perencanaan di tingkat
nasional & desentralisasi
|
Pola pembagian hasil produksi lebih merata antar
golongan, daerah, kota-desa.
|
Pentingnya Etika dalam Dunia Ekonomi
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera
dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah
apa yang harus ditempuh?. Didalam
ekonomi tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu
tujuan. Kalau sudah
demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi
binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia ekonomi tampaknya
tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan
kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan
kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap
etika ekonomi. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu ekonomi tunduk pada
norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan ekonomi dan masyarakat yang
tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan
bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku ekonomi maupun etika ekonomi
terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. Dengan
memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa
prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi
berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang
nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut
segera dibenahinya etika ekonomi . Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi
dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan
dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait
begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak
yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha
belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya
menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran
terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena
batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan
yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak
memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.
Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses
jangka panjang dalam sebuah
ekonomi. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik
lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Perspektif Makro.
Pertumbuhan
suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif
dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang
dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta;
(b) Kebebasan memilih dalam perdagangan
barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi
yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini
akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro. Pengaruh
dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya kebebasan memilih
dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif
antara pelaku bisnis dengan ancaman atau
memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination.
2. Perspektif Bisnis Mikro.
Dalam
Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup
mikro terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk
selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan
yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.
Standar moral merupakan tolok ukur etika ekonomi.
Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika ekonomi
cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang
dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:
(1) Prinsip konsekuensi (Principle
of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan
konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi
(Principle of
Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang
digunakan sebagai
petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat,
antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia
yang berhubungan dengan kewajiban untuk
tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang
biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan. Prinsip
keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan distributive, yaitu
keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban
antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap
benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan
dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social;
(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution
(gantirugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab
atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan
tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan
kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi
pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan
medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.
Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus
kerugian, misalnya kehilangan
nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan
kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan
kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang
bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin
kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu
dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan
anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu
dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam ekonomi sudah tentu harus disepakati
oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berekonomi perlu
pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah,
masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang
menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka
inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak
mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati
oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya
kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang
bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun
dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika ekonomi, Dalimunthe (2004)
menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri
mereka masingmasing untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau
memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan
yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga
harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang
"etik".
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility)
Pelaku ekonomi disini dituntut untuk peduli dengan
keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan
memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh
kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess
demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak
memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
Tanggung jawab sosial
bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam
hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
3. Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk
terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah
salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika
bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan
teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan
yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi
informasi dan teknologi.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan
efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah,
dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku ekonomi besar dan
golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu
memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu
dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam
dunia ekonomi tersebut.
5. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan
hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan
dimasa datang. Berdasarkan
ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan
dan keadaan saat sekarang semaksimal
mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan
dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong,
Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap
seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan
korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis
ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa
dan negara.
7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar
untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi,
jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta
melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa
diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi"kepada
pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan
Pengusaha
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang
"kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan
pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu
berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang
selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang
sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan
berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak
akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten
dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah
disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun
pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan
pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi
satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan
Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah
satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua
pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu
hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk
menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
"proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini
sudah dirasakan dan sangat diharapkan
semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika
dalam dunia bisnis serta kesadaran semua
pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi. Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004)
menjelaskan bahwa mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata
cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena
saling menghormati. Etiket berbisnis
diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam
organisasi.
Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan
terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas
tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain.
Dengan kata lain, etiket bisnis itu
memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan
perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika ekonomi adalah menerapkan
aturan-aturan umum mengenai
etika pada perilaku ekonomi. Etika ekonomi menyangkut moral, kontak sosial,
hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara
umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral
dan beretika, maka setiap insan ekonomi yang tidak berlaku jujur dengan
pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat,
maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita
mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan
cara peka dan toleransi.
BAB III
P E N U T U
P
1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang
berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari
perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai
aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat
sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik dan buruk
adalah suatu masalah selalu berubah.
2. Etika ekonomi adalah standar-standar nilai yang
menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan
keputusan dan mengoperasikan ekonomi yang etik.
3. Paradigma etika dan ekonomi adalah dunia yang
berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan ekonomi
atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat
ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika ekonomi merupakan
sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu,
perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam
sebuah bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir,
Revrisond. 2006. Etika Ekonomi. Dalam Kompas Senin, Penerbit PT Gramedia,
Jakarta.
Buchholtz, R.A and S. B. Rosenthal. 1998. Business
Ethics. Upper Saddle River,
N.J.:
Prentice Hall.
Dalimunthe,
Rita F. 2004. Etika Ekonomi. Dalam Website Google: Etika Ekonomi
danPengembangan Iptek.
DeGeorge, R.
2005. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th ed.
Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris
Indonesia. Penerbit PT
Gramedia,
Jakarta.
http://editfhotokeren.blogspot.com/2011/03/etika-dalam-ekonomi.html
0 komentar:
Posting Komentar